Pada 17 Agustus 2007, bangsa Indonesia telah merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik ini yang ke-62. banyak cara yang dilakukan bangsa Indonesia untuk merayakannya. Mulai dari Upacara bendera, potong tumpeng, selamatan, istighotsah, dan tahlilan, adapula yang memilih pesta untuk mengenal jasa-jasa pahlawan kemerdekaan. Sebelum hingga nanti akhir Agustus, banyak even digelar masyarakat Indonesia. Mulai dari even-even lomba kejasmanian sampai kerohanian, salah satunya, karnaval, lomba catur, bolavoli, dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut diselenggarakan dari tingkat RT hingga tingkat nasional.
Kegiatan tersebut seakan telah menjadi rutinitas bangsa ini, sejak 62 tahun silam. Tepatnya ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945. Mulai hari itulah Indonesia lahir sebagai sebuah negara yang berdaulat. Bangsa Indonesia tidak lagi terbelenggu oleh tangan-tangan kolonial hegemonik yang menguras berjuta sumber daya yang dimiliki negara maritim terbesar ini.
Tidak bisa dipungkiri, capaian besar dalam perjuangan bangsa itu, tidak bisa dilepaskan dari peran kaum. Dimana peran kaum muda untuk menyatukan rasa bangsa ini, dalam bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Upaya tersebut memiliki signifikansi yang luar biasa, dalam menumbuhkan ghirroh pergerakan bangsa serta mendorong kemerdekaan Indonesia. Dimana, melalui kongres pemuda kedua itulah, kaum muda bangsa ini, mencetuskan Sumpah Pemuda. Mereka sadar, bahwa ada tantangan riil bangsa Indonesia, untuk mewujudkan cita-cita memerdekakan diri menjadi sebuah bangsa yang mandiri dan bermartabat. Karena itulah, diperlukan penyadaran nasionalisme.
Dalam hal ini, Generasi muda 1928 memainkan peran sejalan dengan tantangan riil yang dihadapi lingkungan masyarakatnya pada masa itu. Yakni, perlunya kaum muda bersatu untuk mewujudkan gerakan yang lebih konkrit untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Untuk mewujudkannya, kaum muda pada saat itu, menganggap perlu sumpah, untuk mewujudkan tali persatuan guna memperteguh integrasi nasional sebagai syarat mutlak mewujudkan cita-cita bangsa. Sehingga keinginan merdeka menjadi tekad semua unsur pemuda di Nusantara ini.
Walaupun harus diakui pula, bahwa corak nasionalisme diantara mereka (baca: Kaum Muda) sangat beragam dan begitu tajam. Namun, karena adanya kesadaran yang sama, untuk bersatu dan mencapai kemerdekaan, ideologi apapun yang mendasari corak nasionalisme mereka, baik nasionalisme Islam, nasionalisme netral Islam, maupun nasionalisme sekuler (Deliar Noer, 1982), pada akhirnya, ada titik temu yang mereka hasilkan, setiap dari mereka, merasa dipersatukan dalam sau cita – cita bersama yang mulia, yaitu Indonesia merdeka. Sehingga dapat dikatakan, bahwa Kongres Pemuda kedua, dengan Sumpah Pemuda inilah yang menjadi titik tolak kemerdekaan Indonesia.
Tidak hanya itu, dalam setiap moment perubahan dan pergerakan bangsa Indonesia, gerakan kaum selalu menjadi tolok ukurnya. Dalam konteks kekinian, kontribusi pemuda yang termanifestasi dalam figur mahasiswa kembali menunjukkan taringnya sebagai sebuah kekuatan pendobrak yang tidak bisa dirobohkan oleh kekuatan apapun, gerakan ini berhasil meruntuhkan sistem kekuasaan rezim yang otoriter. Gerakan 1998 yang kemudian dikenal dengan Gerakan Reformasi merupakan salah satu bukti bahwa kekuatan pemuda masih terus diyakini sebagai penyangga bagi bertahannya sebuah sistem peradaban kemanusiaan yang lebih progresif. Dengan kata lain, di tangan pemudalah letak keberlangsungan sebuah perubahan yang diidamkan sebuah bangsa.
Harus diakui, OKP pasca reformasi mulai kehilangan ghiroh gerakan, hal tersebut hampir menimpa seluruh OKP di tanah air. Sehingga dapat dikatakan, bahwa saat ini OKP lebih berorientasi pada ritual-ritual (baca: kegiatan) elitis semata, sedangkan aktivitas advokasi sudah jarang dilakukan.
Problem yang mulai mendera setiap ruang dan sudut pergerakan mahasiswa ini tidak bisa dilepaskan dari tarik ulur berbagai kepentingan yang ingin meredam semangat juang pergerakan mahasiswa yang impresif, dan progressif dalam menegakkan semangat reformasi. Pertama; disfungsi peran organisasi kepemudaan. OKP merupakan bagian dari proses penempaan pendidikan kepemimpinan mahasiswa yang memberikan andil penting bagi proses kepemimpinan elite bangsa dengan supply SDM terbesar.
Fakta tak terbantahkan, banyak –bahkan hampir semua- pemimpin negeri (elite politik) saat ini merupakan alumnus OKP (terutama kelompok Cipayung; HMI, PMII, GMKI, PMKRI, ataupun GMNI) yang menjadikan batu loncatan pergerakan dalam poros politik mereka masing-masing. Lalu, konsekwensi logisnya, terjadinya pola hubungan yang simbiosis mutualistik antara OKP dengan alumnusnya yang berada di puncak karier politiknya.
Kedua, disorientasi organisasi kepemudaan dalam menjalankan proses organisasi pada level kaderisasi. Sebagai imbas dari posisi OKP yang terjebak dalam jejaring kekuatan elit politik tersebut, maka organisasi pemuda/mahasiswa mulai membalikkan badannya dari ranah idealis yang selalu kritis dalam menatap kondisi sosial kemasyarakatan, menjadi organisasi yang berorientasi pada politik praktis semata bahkan secara terang-terangan menjadi underbow partai politik tertentu untuk memperkuat basis massa parpol di tataran pemuda/mahasiswa.
Dihadapkan pada kondisi seperti ini, maka diperlukan kearifan elit politik dan elit mahasiswa untuk secara bersama-sama mengembalikan organisasi mahasiswa pada maqom-nya, sehingga organisasi mahasiswa dalam setiap aktivitas dan perannya selalu menjadi balancing power bagi penguasa. Label mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control dapat dipertahankan, tanpa harus mengesampingkan peran OKP sebagai kawah candradimuka bagi calon pemimpin bangsa dan salah satu pabrik terbesar sekaligus penyuplai SDM terbesar bagi partai politik.
Kini, saatnya kalangan aktivis saling bersinergi menggagas divison of labour antara aktivis pemuda dan alumninya, aktivis pemuda dan mahasiswa tidak menutup network dengan alumninya –karena alasan adanya intervensi gerakan- dan alumni OKP tidak melakukan interversi terhadap juniornya pada ruang gerakan ktritis konstruktif dan transformatif, sehingga pada akhirnya kita temukan titik sinergi antara aktivis pemuda/mahasiswa dengan politisi menuju Indonesia yang lebih maju dan bermartabat, melalui penegakan hukum untuk semua masyarakat Indonesia,tanpa pandang bulu, Indonesia akan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Melalui posisi sinergisitas gerakan inilah menurut penulis, kedepan kaum muda akan kembali menemukan nasionalismenya yang mulai pudar dan hilang. Dengan demikian, gerakan kaum muda selanjutnya, benar-benar mengarah pada perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab itulah yang diinginkan para kaum muda angkatan 1908, 1928 dan kaum muda 1945, sebagai pendiri bangsa ini.
Kegiatan tersebut seakan telah menjadi rutinitas bangsa ini, sejak 62 tahun silam. Tepatnya ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945. Mulai hari itulah Indonesia lahir sebagai sebuah negara yang berdaulat. Bangsa Indonesia tidak lagi terbelenggu oleh tangan-tangan kolonial hegemonik yang menguras berjuta sumber daya yang dimiliki negara maritim terbesar ini.
Tidak bisa dipungkiri, capaian besar dalam perjuangan bangsa itu, tidak bisa dilepaskan dari peran kaum. Dimana peran kaum muda untuk menyatukan rasa bangsa ini, dalam bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Upaya tersebut memiliki signifikansi yang luar biasa, dalam menumbuhkan ghirroh pergerakan bangsa serta mendorong kemerdekaan Indonesia. Dimana, melalui kongres pemuda kedua itulah, kaum muda bangsa ini, mencetuskan Sumpah Pemuda. Mereka sadar, bahwa ada tantangan riil bangsa Indonesia, untuk mewujudkan cita-cita memerdekakan diri menjadi sebuah bangsa yang mandiri dan bermartabat. Karena itulah, diperlukan penyadaran nasionalisme.
Dalam hal ini, Generasi muda 1928 memainkan peran sejalan dengan tantangan riil yang dihadapi lingkungan masyarakatnya pada masa itu. Yakni, perlunya kaum muda bersatu untuk mewujudkan gerakan yang lebih konkrit untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Untuk mewujudkannya, kaum muda pada saat itu, menganggap perlu sumpah, untuk mewujudkan tali persatuan guna memperteguh integrasi nasional sebagai syarat mutlak mewujudkan cita-cita bangsa. Sehingga keinginan merdeka menjadi tekad semua unsur pemuda di Nusantara ini.
Walaupun harus diakui pula, bahwa corak nasionalisme diantara mereka (baca: Kaum Muda) sangat beragam dan begitu tajam. Namun, karena adanya kesadaran yang sama, untuk bersatu dan mencapai kemerdekaan, ideologi apapun yang mendasari corak nasionalisme mereka, baik nasionalisme Islam, nasionalisme netral Islam, maupun nasionalisme sekuler (Deliar Noer, 1982), pada akhirnya, ada titik temu yang mereka hasilkan, setiap dari mereka, merasa dipersatukan dalam sau cita – cita bersama yang mulia, yaitu Indonesia merdeka. Sehingga dapat dikatakan, bahwa Kongres Pemuda kedua, dengan Sumpah Pemuda inilah yang menjadi titik tolak kemerdekaan Indonesia.
Tidak hanya itu, dalam setiap moment perubahan dan pergerakan bangsa Indonesia, gerakan kaum selalu menjadi tolok ukurnya. Dalam konteks kekinian, kontribusi pemuda yang termanifestasi dalam figur mahasiswa kembali menunjukkan taringnya sebagai sebuah kekuatan pendobrak yang tidak bisa dirobohkan oleh kekuatan apapun, gerakan ini berhasil meruntuhkan sistem kekuasaan rezim yang otoriter. Gerakan 1998 yang kemudian dikenal dengan Gerakan Reformasi merupakan salah satu bukti bahwa kekuatan pemuda masih terus diyakini sebagai penyangga bagi bertahannya sebuah sistem peradaban kemanusiaan yang lebih progresif. Dengan kata lain, di tangan pemudalah letak keberlangsungan sebuah perubahan yang diidamkan sebuah bangsa.
Harus diakui, OKP pasca reformasi mulai kehilangan ghiroh gerakan, hal tersebut hampir menimpa seluruh OKP di tanah air. Sehingga dapat dikatakan, bahwa saat ini OKP lebih berorientasi pada ritual-ritual (baca: kegiatan) elitis semata, sedangkan aktivitas advokasi sudah jarang dilakukan.
Problem yang mulai mendera setiap ruang dan sudut pergerakan mahasiswa ini tidak bisa dilepaskan dari tarik ulur berbagai kepentingan yang ingin meredam semangat juang pergerakan mahasiswa yang impresif, dan progressif dalam menegakkan semangat reformasi. Pertama; disfungsi peran organisasi kepemudaan. OKP merupakan bagian dari proses penempaan pendidikan kepemimpinan mahasiswa yang memberikan andil penting bagi proses kepemimpinan elite bangsa dengan supply SDM terbesar.
Fakta tak terbantahkan, banyak –bahkan hampir semua- pemimpin negeri (elite politik) saat ini merupakan alumnus OKP (terutama kelompok Cipayung; HMI, PMII, GMKI, PMKRI, ataupun GMNI) yang menjadikan batu loncatan pergerakan dalam poros politik mereka masing-masing. Lalu, konsekwensi logisnya, terjadinya pola hubungan yang simbiosis mutualistik antara OKP dengan alumnusnya yang berada di puncak karier politiknya.
Kedua, disorientasi organisasi kepemudaan dalam menjalankan proses organisasi pada level kaderisasi. Sebagai imbas dari posisi OKP yang terjebak dalam jejaring kekuatan elit politik tersebut, maka organisasi pemuda/mahasiswa mulai membalikkan badannya dari ranah idealis yang selalu kritis dalam menatap kondisi sosial kemasyarakatan, menjadi organisasi yang berorientasi pada politik praktis semata bahkan secara terang-terangan menjadi underbow partai politik tertentu untuk memperkuat basis massa parpol di tataran pemuda/mahasiswa.
Dihadapkan pada kondisi seperti ini, maka diperlukan kearifan elit politik dan elit mahasiswa untuk secara bersama-sama mengembalikan organisasi mahasiswa pada maqom-nya, sehingga organisasi mahasiswa dalam setiap aktivitas dan perannya selalu menjadi balancing power bagi penguasa. Label mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control dapat dipertahankan, tanpa harus mengesampingkan peran OKP sebagai kawah candradimuka bagi calon pemimpin bangsa dan salah satu pabrik terbesar sekaligus penyuplai SDM terbesar bagi partai politik.
Kini, saatnya kalangan aktivis saling bersinergi menggagas divison of labour antara aktivis pemuda dan alumninya, aktivis pemuda dan mahasiswa tidak menutup network dengan alumninya –karena alasan adanya intervensi gerakan- dan alumni OKP tidak melakukan interversi terhadap juniornya pada ruang gerakan ktritis konstruktif dan transformatif, sehingga pada akhirnya kita temukan titik sinergi antara aktivis pemuda/mahasiswa dengan politisi menuju Indonesia yang lebih maju dan bermartabat, melalui penegakan hukum untuk semua masyarakat Indonesia,tanpa pandang bulu, Indonesia akan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Melalui posisi sinergisitas gerakan inilah menurut penulis, kedepan kaum muda akan kembali menemukan nasionalismenya yang mulai pudar dan hilang. Dengan demikian, gerakan kaum muda selanjutnya, benar-benar mengarah pada perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab itulah yang diinginkan para kaum muda angkatan 1908, 1928 dan kaum muda 1945, sebagai pendiri bangsa ini.
Ach Faidy Suja’ie, Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Jember
Dipublikasikan DUTA MASYARAKAT, tanggal 23 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar