Senin, 28 Januari 2008

PERSMA, WAJAHMU KINI

Oleh ACH FAIDY SUJA'IE

Ketika kebebasan berbicara, berpendapat, dan berkumpul terkungkung undang-undang, di saat kebebasan pers terpasung cengkraman hegemoni penguasa Orde Baru selama bertahun-tahun, insan pers pun mulai terperosok dalam dunia yang sengaja dibuat oleh pemerintah. Pegiat pers mulai meninggalkan dan melupakan bahwa pers adalah salah satu tiang demokrasi.

Independensi pers menjadi mimpi belaka dan hak jawab menjadi haknya pemilik modal dan pemegang kekuasaan. Banyak media massa yang secara sengaja menentang ketidakadilan rule of the game yang menutup pintu kebebasan pers. Namun, yang terjadi kemudian tidak ada satu pun yang tersisa (baca dibreidel) dari mereka untuk tetap memberikan informasi dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang dicita-citakan founding father bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Di saat media-media massa telah terakhiri hayatnya dan informasi yang disuguhkan media yang berdiri di belakang pemerintahan Orde Baru tidak lagi layak dijual kepada pembaca, kondisi inilah yang kemudian memberikan tempat bagi pers mahasiswa (persma) di banyak perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS) di negeri ini untuk eksis.

Selain itu, untuk tetap menyuarakan kebenaran yang menjadi hak-hak publik serta menempatkan diri sebagai satu-satunya pers yang vis a vis dengan negara. Tidak ayal lagi posisi persma yang bisa dikatakan sangat berani ini menjadi satu-satunya alternatif bagi pembaca. Berita-berita yang dimuat pun menjadi berita yang sangat spektakuler dan menjadi hantu bagi orang-orang yang merasa tersentil oleh coretan kaum muda tersebut.

Lagi-lagi persma menjadi perhatian utama dalam pergulatan perpolitikan di republik tercinta ini. Rasional dan logis ketika pers mahasiswa tidak lagi menjadi pers konsumsi mahasiswa dan sivitas akademika lainnya. Namun, persma mulai membuka diri dan menyesuaikan dirinya untuk menjadi konsumsi publik. Konsekuensi logis dari pers sebagai konsumsi publik, pers tersebut, dalam hal ini persma, tidak lagi berkutat pada kehidupan mahasiswa dan proses akademik di kampus. Namun, persma harus mampu memotret kehidupan berbangsa dan bernegara dari skala lokal, regional, maupun skala nasional sebagai upaya memuaskan insan pers di seluruh Tanah Air.

Dapat disimpulkan, ketika pers terkungkung oleh kekuasaan dan kebebasan terpasung oleh undang-undang, tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dalam dunia pers karena kepentingan kekuasaan yang dipaksakan. Di saat itu pula persma mengambil perannya sebagai pers yang masih eksis dan tetap independen. Pada akhirnya kondisi ini pula yang mengantarkan persma pada masa keemasannya dan fase kejayaannya sebagai media informasi. Gerakan mahasiswa tahun 1998 dengan agenda reformasi mampu menumbangkan kekuatan otoriter.

Gerakan mahasiswa itu bukanlah yang pertama dilakukan mahasiswa. Sebelumnya telah banyak gerakan mahasiswa sebagai upaya kontrol terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah menyangkut hajat hidup orang banyak. Dengan tumbangnya Rezim Soeharto ini, Indonesia telah memasuki babak baru dalam kehidupan demokrasinya dan keran kebebasan pun terbuka lebar. Masyarakat bersujud syukur akan kebebasan ini dan menaruh harapan kepada gerakan yang diusung oleh sang agent of change dan agent of social control ini.

Sujud syukur yang dilakukan semua kalangan ini kemudian mempunyai makna lain bagi persma. Ketika kebebasan telah menemukan ruangnya dan insan pers kembali bangun dari tidurnya, dunia persma malah sebaliknya. Mereka mulai kehilangan wilayah geraknya. Persma pelan-pelan ditinggal oleh fansnya yang selama ini memuja-muja dan menyanjungnya sebagai pers yang merdeka dan independen. Tak ayal lagi wilayah gerak persma semakin menyempit bahkan kemudian hilang sama sekali bersamaan dengan tumbuhnya media-media di luar kampus yang lebih energik dan lebih berani dibandingkan persma.

Persma mulai kehilangan wajah yang selama ini begitu memesona. Wajah persma saat ini tak ubahnya sebagai media lalu lalangnya obrolan murahan. Persma kini hanya menjadi penyambung lidah dan penyampai informasi birokrat kampus kepada mahasiswa atau lebih parah lagi metamorfosisnya pers era Orde Baru. Persma bukan lagi sebagai kekuatan penyeimbang, tetapi menjadi teman selingkuh penguasa serta memosisikan "teman tapi mesra" bagi rezim yang sedang berkuasa.

ACH FAIDY SUJA'IE Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Jember, mantan Pimpinan Redaksi LPM PRIMA FISIP Universitas Jember

dipublikasikan Harian Kompas pada Jum'at, 10 Pebruari 2006

Tidak ada komentar: