Rabu, 30 Januari 2008

Memaknai HUT RI & Agama Untuk Integrasi Nasional

Oleh; Ach. Faidy Suja'ie

Gegap gempita sebuah perayaan bisa kita lihat disemua sudut perkampungan dan perkotaan, pasalnya, ada momen besar bagi bangsa Indonesia di bulan ini. Tanggal 17 Agustus ini, Indonesia genap berusia 61 tahun, setelah pada tahun 1945 silam, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta. Mulai hari itulah Indonesia lahir sebagai sebuah negara yang berdaulat. Bangsa Indonesia tidak lagi terbelenggu oleh tangan-tangan kolonial hegemonik yang menguras berjuta sumber daya yang dimiliki negara maritim terbesar ini. Sejak saat itu pula, bangsa Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan sekian kegiatan, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah, dari tingkat Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT) sampai tingkat nasional.

Ketika memproklamirkan Indonesia, para founding fathers kita sepakat bahwa Indonesia adalah negara kesatuan, yang kaya budaya, bahasa dan adat istiadat daerah, tersebar dari Sabang hingga Merauke. Indonesiapun bukan negara agama, karenanya para pemeluk agama yang hidup dan diakui sebagai agama di Indonesia harus saling bergandeng tangan untuk mewujudkan cita-cita bangsa seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang 1945. Oleh sebab itu, sejak awal berdirinya negara Indonesia, kebebasan beragama selalu didengung - dengungkan oleh pemerintah yang pernah berkuasa dinegeri ini, mulai pemerintahan Orde Lama, rezim Orde Baru, pemerintahan transisi menuju reformasi dan era reformasi. Di masa Orde Baru, Indonesia memang hanya mengakui lima agama sebagai agama resmi rakyat Indonesia, masing-masing adalah Islam (87,21%), Kristen Katolik (3,58%), Kristen Protestan (6,4%), Hindu (1,83%) dan Budha (1,03%), sedang aliran kepercayaan lainnya yang dikategorikan sebagai animisme sebanyak 0,31% (Taher, 1997 dalam Azra, 2002). Baru setelah pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid yang dikenal sebagai tokoh liberal dari sebuah ormas Islam, Khong Hu Cu yang sebelumnya hanya sebagai aliran kepercayaan, mendapatkan tempat sejajar dengan lima agama yang telah diakui sebelumnya oleh pemerintah. Kalaupun selain Khong Hu Cu, masih banyak aliran kepercayaan lain yang yang belum secara resmi diakui oleh negara sebagai sebuah agama, akan tetapi aliran-aliran kepercayaan teersebut tetap berkembang pesat dengan sendirinya.

Akan tetapi, proses perjalanan keberagamaan di Indonesia, kian hari kian mengkhawatirkan. hal ini ditandai banyak munculnya splinter groups. Gerakan-gerakan fundamentalis yang mengarah pada anarkhisme ini merupakan dampak dari kebebasan yang ditebarkan reformasi, gerakan tersebut pada gilirannya memunculkan kekhawatiran banyak kalangan akan disintegasi nasional, perpecahan dan kekerasan atas nama agama semakin menguat. Dari sini, kelompok "sempalan" (agama minoritas) selalu menjadi kambing hitam agama mayoritas. Meminjam istilahnya Ahmad An-Naim, telah terjadi "perang" klaim kebenaran dalam beragama di Indonesia. Hal itu, ditunjukkan dengan makin maraknya usaha formalisasi agama ke wilayah publik, meningkatnya kekerasan yang dilakukan kelompok – kelompok kecil atas nama agama, serta usaha membatasi kreatifitas personal karena dianggap "haram dan maksiat". Oleh karena itulah, melalui peringatan Hari Ulang Tahun Indonesia ke -61 ini kita harus merevitalisasi nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk mewujudkan integrasi nasional sebagai syarat utuhnya NKRI.

Agama Inklusif

Nalar integrasi harus memberi ruang apologis bagi keberagamaan dialogis sebagaimana para founding fathers mendialogkan kepentingan bersama jauh sebelum diskursus keberagamaan kontemporer menghiasi jagad politik Indonesia. Ingat, penghapusan tujuh kata pada piagam Jakarta merupakan bentuk pengorbanan kelompok Islam yang lahir dari ritme dialogis panjang dengan kaum minoritas. Kelompok Islam (Abikusno, dkk) bukannya tidak ingin melindungi dan memperjuangkan kepentingan Islam, namun bagi mereka dibawah payung NKRI-lah sebenarnya Islam dapat mengisi kekosongan ruang batin keberagamaan masa depan.

Revitalisasi keberagamaan konstitutif haruslah diajarkan sejak dini. Keberagamaan berwawasan Pancasila dan UUD 1945 secara transformatif berdasar alur bahwa agama mayoritas harus tetap melindungi kaum minoritas, keberagamaan inklusif harus disejajarkan berdasar kepentingan-kepentingan masyarakat dan bukannya segelintir golongan – golongan "sempalan". Bahwa menjaga nasionalisme dan perasaan bersama menjadi prioritas ritual keagamaan dari sekedar syahwat untuk menyalurkan kepentingan ideologis semata.

Bagi bangsa Indonesia, keberagaman merupakan fakta tak terbantahkan, baik secara sosilogis, ideologis, maupun geografis. Secara nyata keberagaman mengindikasikan pecahnya konflik horizontal, namun, management of conflic menjadi penentu terciptanya wawasan keagamaan yang inklusif untuk melahirkan kerukunan antar umat beragama serta terkikisnya primordialisme ekslusif bagi terujudnya keharmonisan bangsa. Historisitas Islam masa lalupun menunjukkan bahwa keislaman mestilah diterjemahkan dalam cita rasa lokal yang ramah. Keberagamaan nasionalpun juga menunjukkan penerjemahan Islam dalam bingkai negara bangsa Indonesia. Kini, ketika ekstremitas beragama yang sebenarnya hanyalah komoditas impor mulai mengganggu kestabilan hubungan Islam dan UUD 1945, kita wajib mempertahankan kestabilan itu.

Ancaman disintegrasi nasional yang ditimbulkan geliat ekstrimitas keberagamaan dan primordialisme kesukuan akan terkikis dengan pemahaman keagamaan yang genuine, otentik Pancasilais dan bersumberkan nilai-nilai perjuangan bangsa yang tertuang dalam UUD 1945. efeknya, adalah sikap akomadatif kelompok mayoritas terhadap minoritas untuk menekan munculnya splinter groups yang incompatible dengan cita-cita bangsa.

Makna dan pesan HUT RI ke-61 pun, mengisyaratkan terciptanya kehidupan yang egaliter, kesamaan, anti rasialisme. Kebersamaan dan kesetaraan dalam pesan proklamasi Indonesia mengandaikan semua elemen masyarakat, dari beragam unsur agama, ideologi, etnis dan splinter groups bergandengan tangan menuju tujuan bersama berdasar petunjuk bersama, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Ach. Faidy Suja'ie, Ketua Umum PMII Cabang Jember

Dipublikasikan Paras Indonesia, 17 Agustus 2006

Tidak ada komentar: