Jika ada anjing menggigit orang itu hal biasa, tapi jika ada orang menggigit anjing itu baru berita.
Ungkapan klasik inilah yang sering mewarnai obroral insan pers kita. Potongan kalimat diatas mengisyaratkan bahwa dunia pers dalam melihat realitas mengutamakan ketidaknormalan, kejanggalan, dan hal – hal "aneh" yang berlawanan dengan common sense.
Pers dan media massa dikukuhkan sebagai pilar demokrasi keempat mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: Pertama, memenuhi hak publik untuk tahu. Pers dalam hal ini mempunyai fungsi sebagai penyambung lidah dan penyampai informasi bagi masyarakat. Kedua, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong supremasi hukum, HAM, dan menghormati keberagaman. Pada posisi ini pers Indonesia diharapkan menjadi dinamisator bagi Indonesia. Ketiga, pers mempunyai peran dan fungsi sebagai pengembang pendapat umum (public opinion), dimana pers dituntut untuk menyajikan berita-berita yang benar, akurat, valid, dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Keempat, melakukan pengawasan. Yang dimaksud dengan pengawasan ini adalah kritik, koreksi, serta saran yang berkaitan dengan kepentingan publik secara luas. Artinya bagaimana pers menempatkan dirinya sebagai oposisi konstruktif bagi penguasa dan tetap memihak kepada kepentingan publik. Dan Kelima, pers berperan sebagai pejuang keadilan dan kebenaran. Pers harus menjadi kontrol bagi setiap usaha – usaha pengaburan kebenaran dan praktek-praktek 'pandang bulu'. (Undang-Undang Pers Indonesia. Pasal 6)
Perjalanan bangsa Indonesiapun seakan menjadi kiasan bagaimana pers menelusuri hidupnya. Pers pra kemerdekaan tumbuh dan berkembang karena disatukan rasa nasionalisme, dan menjadikan kaum kolonialisme-imprealis sebagai musuh bersama bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak heran ketika para jurnalisnya disebut sebagai pejuang dan pahlawan, karena pada saat itu pers memang menempatkan dirinya sebagai penggerak dan motivator bagi perjuangan demokrasi di Indonesia serta perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada perkembangan berikutnya, media tidak hanya meneguhkan pada persoalan – persoalan yang bersifat ideal, akan tetapi media lebih menekankan pada fungsi hiburan informatif, sehingga banyak sekali informasi “kurang mendidik” yang dikemas sedemikian rupa agar layak dikonsumsi oleh masyarakat, termasuk didalamnya program infotainment.
NU & Dunia Infotainment
Tayangan infotainment yang menjadi salah satu rekomendasi Musyrawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama yang belum rampung dibicarakan saat pelaksanaan Munas 27 - 30 Juli 2006 kemarin di Surabaya, yang kemudian direkomendasikan untuk dibahas di internal Pengurus Besar NU dengan melibatkan beberapa elemen yang terkait, Kamis, 3 Agustus 2006 telah dipublikasilkan oleh PBNU, dalam fatwanya ormas keagamaan ini melarang secara terang-terangan program infotainment yang ditanyangkan beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia. Namun, PBNU tidak mempermasalahkan rubrik sejenis infotainment pada beberapa media cetak (koran, majalah, dan tabloid).
Infotainment, merupakan suatu komoditas yang mencerminkan kekuatan pasar dan keinginan raja-raja media untuk menguasai bisnis siaran radio atau televisi secara cepat. Karena itulah maka, informasi yang terkandung dalam program ini tidak lagi memberikan pencerahan bagi masyarakat, akan tetapi lebih mengarah pada masalah – masalah privasi artis dan public figur semata.
Dunia infotainment di Indonesia diawali oleh munculnya tayangan Buletin Sinetron (1993), disusul Kabar Kabari (1996) dan Cek & Ricek (1997). Kemudian banyak lagi bermunculan program infotainment lainnya yang sejenis. Sebenarnya tujuan awal dari program ini adalah memberikan informasi dari dunia hiburan yang belum banyak diangkat oleh media. Akan tetapi, semakin ketatnya persaiangan antar media, maka, infotainment beralih fungsi (baca: gosip).
Sebanyak 2000 lebih episode program infotainment telah ditayangkan di stasiun televisi, hampir semua yang diberitakan adalah masalah privasi artis dan public figur, mulai dari persoalan keluarganya, persoalan jalinan asmara mereka sampai pada hubungan suami isteri diantara mereka. Dari jumlah tanyangan infotainment diatas, hanya sekitar 50-an episode tanyangan yang benar-benar informasi yang bermafaat bagi pemirsa.
Dengan alasan itulah NU mengeluarkan fatwa tentang larangan tayangan infotainment yang sudah marak disiarkan disemua stasiun TV swasta di negeri ini. Alasan kedua, peran NU bagi masyarakat, KH. Ahmad Siddiq (salah satu pendiri NU) pernah berkata: "Kalau para ulama tidak mampu meningkatkan kualitas diri, maka berangsur-angsur akan ditinggalkan oleh umat”. Kata-kata 'sakti' inilah yang menjadi landasan bagi ulama NU untuk terusan ber-ijtihad tentang beberapa hal bersinggungan dengan permasalahan - permasalahan umat, termasuk masalah infotainment.
Akan tetapi, fatwa yang dikeluarkan oleh PBNU sebenarnya hanya berupa imbauan kepada masyarakat tentang mudhorot dan manfaat dari program infotainment yang disiarkan beberapa televisi. Sebab, Fatwa seperti dikatakan Ibn Manzhur adalah pandangan yang disampaikan oleh orang yang faqih. Dengan demikian, pengertian fatwa sebenarnya tidak terbatas pada persoalan hukum syariat saja, khithâb asy-syâri' al-muta'alliq bi afâal al-'ibâd (seruan pembuat syariat yang berkaitan dengan aktivitas manusia).
Artinya, bahwa fatwa PBNU hanyalah pelaksanaan tugas keagamaan yang disampaikan oleh Ulama sebagai pewaris para nabi untuk menyampaikan sesuatu yang ma’ruf (ed: apa yang umumnya bisa diterima)dan mencegah yang mungkar (ed: apa yang umumnya ditolak), infotainment dianggap dibanyak merugikan daripada memberi manfaat. Karena itulah, fatwa PBNU jangan sampai mengharamkan dan mengungkung kebebasan media, sehingga akan menghalangi proses demokratisasi dan menghalangi terciptanya demokrasi yang otentik di bumi pertiwi.
Ach. Faidy Suja'ie, Ketua Umum PMII Cabang Jember
Dipublikasikan Paras Indonesia, tanggal 09 Agustus 2006
Ungkapan klasik inilah yang sering mewarnai obroral insan pers kita. Potongan kalimat diatas mengisyaratkan bahwa dunia pers dalam melihat realitas mengutamakan ketidaknormalan, kejanggalan, dan hal – hal "aneh" yang berlawanan dengan common sense.
Pers dan media massa dikukuhkan sebagai pilar demokrasi keempat mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: Pertama, memenuhi hak publik untuk tahu. Pers dalam hal ini mempunyai fungsi sebagai penyambung lidah dan penyampai informasi bagi masyarakat. Kedua, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong supremasi hukum, HAM, dan menghormati keberagaman. Pada posisi ini pers Indonesia diharapkan menjadi dinamisator bagi Indonesia. Ketiga, pers mempunyai peran dan fungsi sebagai pengembang pendapat umum (public opinion), dimana pers dituntut untuk menyajikan berita-berita yang benar, akurat, valid, dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Keempat, melakukan pengawasan. Yang dimaksud dengan pengawasan ini adalah kritik, koreksi, serta saran yang berkaitan dengan kepentingan publik secara luas. Artinya bagaimana pers menempatkan dirinya sebagai oposisi konstruktif bagi penguasa dan tetap memihak kepada kepentingan publik. Dan Kelima, pers berperan sebagai pejuang keadilan dan kebenaran. Pers harus menjadi kontrol bagi setiap usaha – usaha pengaburan kebenaran dan praktek-praktek 'pandang bulu'. (Undang-Undang Pers Indonesia. Pasal 6)
Perjalanan bangsa Indonesiapun seakan menjadi kiasan bagaimana pers menelusuri hidupnya. Pers pra kemerdekaan tumbuh dan berkembang karena disatukan rasa nasionalisme, dan menjadikan kaum kolonialisme-imprealis sebagai musuh bersama bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak heran ketika para jurnalisnya disebut sebagai pejuang dan pahlawan, karena pada saat itu pers memang menempatkan dirinya sebagai penggerak dan motivator bagi perjuangan demokrasi di Indonesia serta perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada perkembangan berikutnya, media tidak hanya meneguhkan pada persoalan – persoalan yang bersifat ideal, akan tetapi media lebih menekankan pada fungsi hiburan informatif, sehingga banyak sekali informasi “kurang mendidik” yang dikemas sedemikian rupa agar layak dikonsumsi oleh masyarakat, termasuk didalamnya program infotainment.
NU & Dunia Infotainment
Tayangan infotainment yang menjadi salah satu rekomendasi Musyrawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama yang belum rampung dibicarakan saat pelaksanaan Munas 27 - 30 Juli 2006 kemarin di Surabaya, yang kemudian direkomendasikan untuk dibahas di internal Pengurus Besar NU dengan melibatkan beberapa elemen yang terkait, Kamis, 3 Agustus 2006 telah dipublikasilkan oleh PBNU, dalam fatwanya ormas keagamaan ini melarang secara terang-terangan program infotainment yang ditanyangkan beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia. Namun, PBNU tidak mempermasalahkan rubrik sejenis infotainment pada beberapa media cetak (koran, majalah, dan tabloid).
Infotainment, merupakan suatu komoditas yang mencerminkan kekuatan pasar dan keinginan raja-raja media untuk menguasai bisnis siaran radio atau televisi secara cepat. Karena itulah maka, informasi yang terkandung dalam program ini tidak lagi memberikan pencerahan bagi masyarakat, akan tetapi lebih mengarah pada masalah – masalah privasi artis dan public figur semata.
Dunia infotainment di Indonesia diawali oleh munculnya tayangan Buletin Sinetron (1993), disusul Kabar Kabari (1996) dan Cek & Ricek (1997). Kemudian banyak lagi bermunculan program infotainment lainnya yang sejenis. Sebenarnya tujuan awal dari program ini adalah memberikan informasi dari dunia hiburan yang belum banyak diangkat oleh media. Akan tetapi, semakin ketatnya persaiangan antar media, maka, infotainment beralih fungsi (baca: gosip).
Sebanyak 2000 lebih episode program infotainment telah ditayangkan di stasiun televisi, hampir semua yang diberitakan adalah masalah privasi artis dan public figur, mulai dari persoalan keluarganya, persoalan jalinan asmara mereka sampai pada hubungan suami isteri diantara mereka. Dari jumlah tanyangan infotainment diatas, hanya sekitar 50-an episode tanyangan yang benar-benar informasi yang bermafaat bagi pemirsa.
Dengan alasan itulah NU mengeluarkan fatwa tentang larangan tayangan infotainment yang sudah marak disiarkan disemua stasiun TV swasta di negeri ini. Alasan kedua, peran NU bagi masyarakat, KH. Ahmad Siddiq (salah satu pendiri NU) pernah berkata: "Kalau para ulama tidak mampu meningkatkan kualitas diri, maka berangsur-angsur akan ditinggalkan oleh umat”. Kata-kata 'sakti' inilah yang menjadi landasan bagi ulama NU untuk terusan ber-ijtihad tentang beberapa hal bersinggungan dengan permasalahan - permasalahan umat, termasuk masalah infotainment.
Akan tetapi, fatwa yang dikeluarkan oleh PBNU sebenarnya hanya berupa imbauan kepada masyarakat tentang mudhorot dan manfaat dari program infotainment yang disiarkan beberapa televisi. Sebab, Fatwa seperti dikatakan Ibn Manzhur adalah pandangan yang disampaikan oleh orang yang faqih. Dengan demikian, pengertian fatwa sebenarnya tidak terbatas pada persoalan hukum syariat saja, khithâb asy-syâri' al-muta'alliq bi afâal al-'ibâd (seruan pembuat syariat yang berkaitan dengan aktivitas manusia).
Artinya, bahwa fatwa PBNU hanyalah pelaksanaan tugas keagamaan yang disampaikan oleh Ulama sebagai pewaris para nabi untuk menyampaikan sesuatu yang ma’ruf (ed: apa yang umumnya bisa diterima)dan mencegah yang mungkar (ed: apa yang umumnya ditolak), infotainment dianggap dibanyak merugikan daripada memberi manfaat. Karena itulah, fatwa PBNU jangan sampai mengharamkan dan mengungkung kebebasan media, sehingga akan menghalangi proses demokratisasi dan menghalangi terciptanya demokrasi yang otentik di bumi pertiwi.
Ach. Faidy Suja'ie, Ketua Umum PMII Cabang Jember
Dipublikasikan Paras Indonesia, tanggal 09 Agustus 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar