Rabu, 23 Januari 2008

Mengembalikan Khitah OKP

Oleh; Ach. Faidy Suja’ie

Tepat pada peringatan peristiwa 15 Januari (Malari) ke-34, Fathor Rahman M.D. menulis artikel di Jawa Pos (14/1/2008) tentang 34 Tahun Malari Memelihara Semangat Perlawanan Kaum Muda.
Dalam tulisannya, Fathor berkisah bahwa peristiwa Malari memakan banyak korban jiwa, harta, dan serta prasarana umum lain. Fathor juga bercerita peristiwa ini dilatarbelakangi gerakan kaum muda yang dimotori Hariman dan kawan-kawan pada waktu itu. Hariman dkk menolak upaya pemerintah membuka peluang bagi penanaman modal asing (PMA) yang akan dilakukan Jepang.
Ironisnya, sikap kritis yang ditunjukkan kaum muda waktu itu justru dihadang barisan militer bersenjata lengkap yang tanpa ragu "menyirami" demonstran dengan peluru panas.
Artikel tersebut menggugah saya. Bagi saya tulisan itu layak diapresiasi semua kalangan serta perlu direnungkan aktivis-aktivis OKP.
Sepakat...!
Semua orang sepakat memosisikan mahasiswa terkait peran dan kiprahnya selama ini di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama sebagai kekuatan moral. Kedua, sebagai kekuatan politik. Karena itu, pantas jika dikatakan dunia mahasiswa selalu dipenuhi mitos-mitos panjang yang justru menjebak pemikiran idealis mahasiswa.
Bahkan -tak jarang- mereka terjerumus dalam pemikiran-pemikiran pragmatisme oportunis, baik bersifat kelompok maupun individual. Dalam catatan sejarah tanah air, peran strategis kaum muda selalu menjadi tolok ukur semua perubahan signifikan yang menghiasi perjalanan sejarah bangsa Indonesia dalam menemukan jati dirinya sebagai bangsa dan negara yang merdeka.
Misalnya, pra-kemerdekaan gerakan kaum muda yang dipelopori dr Cipto dengan skala gerakan lokalnya. Pada dekade berikutnya Ir Soekarno dan kawan-kawan dengan skala perjuangan nasional yang memperjuangkan kesatuan Indonesia untuk melawan agresifitas kaum kolonial.
Dalam konteks yang lebih kekinian, gerakan 1998 yang kemudian dikenal dengan Gerakan Reformasi merupakan salah satu bukti bahwa kekuatan pemuda masih terus diyakini sebagai penyangga bagi bertahannya sebuah sistem peradaban kemanusiaan yang lebih progresif.
Organisasi kepemudaan seperti GMNI, HMI, Ansor, PMII, IMM, IRM, PII, IP NU, IPP NU, KAMMI, GMKI, dan PMKRI merupakan kelompok intelektual organik. Di tangan merekalah perubahan masa lalu dimulai dan selalu dikobarkan serta diperjuangkan. Namun, dari waktu ke waktu OKP tidak mampu mempertahankan mitos yang melekat pada mereka. Gerakan perubahan dan bersifat konstruktif kaum muda seakan lesu dan layu dimakan zaman.
Harus diakui, OKP pascareformasi mulai kehilangan ghiroh gerakan. Hal tersebut hampir menimpa seluruh OKP di Indonesia. Aktivitas OKP era ini lebih berorientasi pada ritual-ritual (baca: kegiatan) elitis semata, sedangkan aktivitas advokasi sudah jarang dilakukan, bahkan sama sekali tidak dilakukan. Alih-alih para aktivisnya beralibi "lain dulu, lain sekarang."Menurut mereka, di era transnasional ini OKP harus mampu menyesuaikan diri dengan kegemaran basis, termasuk harus melupakan cita-cita luhur didirikannya OKP.
Kembalilah..!
Problem yang mulai mendera setiap ruang dan sudut pergerakan mahasiswa ini tidak bisa dilepaskan dari tarik ulur berbagai kepentingan yang ingin meredam pergerakan mahasiswa. Pertama, disfungsi peran organisasi kepemudaan. OKP merupakan bagian dari proses penempaan pendidikan kepemimpinan mahasiswa yang memberikan andil penting bagi proses kepemimpinan elite bangsa dengan pemasok SDM terbesar.
Banyak -bahkan hampir semua- pemimpin negeri (elite politik) saat ini merupakan alumnus OKP (terutama kelompok Cipayung; HMI, PMII, GMKI, PMKRI, ataupun GMNI) yang menjadikan batu loncatan pergerakan dalam poros politik mereka masing-masing. Konsekuensinya, terjadi pola hubungan yang simbiosis mutualistik antara OKP dan alumnusnya yang berada di puncak karir politik.
Kedua, disorientasi organisasi kepemudaan dalam menjalankan proses organisasi pada level kaderisasi. Sebagai imbas dari posisi OKP yang terjebak dalam jejaring kekuatan elite politik tersebut, organisasi pemuda/mahasiswa mulai membalikkan badan dari ranah idealis, menjadi organisasi yang berorientasi pada politik praktis.
Karena itu, perlu kearifan elite politik dan elite mahasiswa untuk bersama-sama mengembalikan organisasi mahasiswa pada maqom-nya.
Ach. Faidy Suja’ie, Ketua Umum PMII Cabang Jember, aktif pada Pusat Studi Kebudayaan dan Politik (Paskal) Jember

Dipublikasikan Harian Jawa Pos, Sabtu, 19 Jan 2008

1 komentar:

afys mengatakan...

suharto ngangeni.......