Puasa hanyalah menyentuh pola hubungan personal dengan tuhan, puasa belum mempunyai efek sosial yang nyata dalam kehidupan masyarakat.
Bagi bangsa Indonesia, puasa tahun ini —yang Insya Allah dijalankan mulai Ahad besok— adalah puasa ke-63 sejak negara Indonesia diproklamasikan. Bulan penuh maghfirah ini datang di saat ekonomi Indonesia masih sangat terpuruk, angka kemiskinan sangat tinggi, dan pengangguran belum tertangangi secara serius oleh pemerintah. Tidak hanya itu, kebijakan tentang Impor beras, kenaikan gaji bagi pejabat negara di saat rakyat Indonesia acapkali ditimpa musibah bencana alam, kerap terdengar di telinga kita. Belum lagi, perpecahan sosial dan politik yang masih terjadi di kalangan umat Islam sendiri. Sungguh ironis dan memalukan.
Ini kemudian menimbulkan tanda tanya besar tentang makna puasa: adakah ibadah puasa —yang sesungguhnya secara simbolis merupakan ungkapan pemihakan umat terhadap kaum mustadafiin yang dipenuhi rasa lapar dan penderitaan— masih memiliki efek keberagamaan menjadikan seorang shoim secara moralitas peka terhadap proses marjinalisasi sosial?
Sebagai sebuah tindakan ubudiyah transendental, puasa memang bukanlah tindakan sosial kolektif untuk menyelesaikan dan menuntaskan kondisi dehumanisasi serta keterasingan sosial. Tapi, ketika puasa sebagai satu ritus mampu menggugah kesadaran iman yang bersifat refleksionis dan menumbuhkan kepedulian terhadap proses dehumanisasi dimasyarakat, maka fitrah yang dianugerahkan kepada shoimien dan shoimaat dapat menjelma menjadi kepekaan sosial kolektif. Dengan demikian, hikmah puasa, barokah bulan Ramadhan akan mempunyai arti konkret serta nilai humanis bagi umat manusia; bukan sekadar pemenuhan hasrat ilahiyah belaka.
Sayangnya, interpretasi puasa yang muncul dalam ruang keberagamaan kita hanyalah sebagai laku tirakat demi semangat kepahalaan transendental belaka. Puasa tidak dimanfaatkan untuk mengungkap rahasia ibadah dalam persepektif sosial kemasyarakatan. Puasa hanyalah menyentuh pola hubungan personal dengan tuhan, puasa belum mempunyai efek sosial yang nyata dalam kehidupan masyarakat.
Secara antropologis, berpuasa sebenarnya adalah proses yang diharuskan bagi setiap orang yang beriman agar saat itu manusia keluar dari kesadaran hidup yang bersifat ordiner, konsumtif dan profan semata. Mereka yang melaksanakannya (baca: shoim) akan menemukan makna hidup sesungguhnya di luar aktivitas rutin manusiawi. Dengan demikian, manusia akan mampu menahan diri dari kahausan biologis maupun kerakusan sosial dan kekuasaan politik.
Kondisi objektif Indonesia tidaklah menggembirakan, bahkan mengenaskan. Silih bergantinya bencana alam yang melanda bumi pertiwi, rupanya tidak membuat pejabat kita terharu menyaksikan korban bencana alam. Yang terjadi justru sebaliknya, mereka ramai-ramai menaikkan gaji dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif belaka. Ini barangkali tak perlu terjadi seandainya ibadah puasa dimaknai sebagai ibadah pembuka ruang keberpihakan terhadap kaum mustadafien dan kepekaan sosial. Dengan kesadaran tersebut, setiap umat Islam (pejabat dan bukan pejabat) akan tergugah untuk memberikan makna horizontal puasa bagi sesama.
Di saat keadaan ekonomi yang memprihatinkan saat ini, rasanya tidak bermoral dan keterlaluan, kalau kita masih menyambut bulan suci kali ini dengan suasana semarak tanpa melakukan taffakur terhadap penderitaan yang dialami orang-orang yang papa. Ini patut kita tekankan, mengingat selama ini seolah-olah kesemarakan puasa itu tenggelam dalam budaya konsumeristik, dalam gaya hidup “pasar” daripada aktivitas di surau dan di masjid.
Harus diingat, ketika life style keberagamaan yang bergelimang dijadikan model kesalehan umat Islam, maka wajah keberagamaan kita akan tumpul terhadap proses dehumanisasi dan marjinalisasi sosial, dan di hadapan Tuhan, puasa kita akan menjadi tidak adil dan timpang.
Seperti halnya laku ritual yang lain, bentuk penghayatan dan pengalaman puasa sangatlah beragam dari satu orang ke orang yang lain. Sifatnya subjektif dipengaruhi masing-masing persepsi dan pengalaman individual keberagamaannya. Bahkan kadang-kadang, ada orang yang mengalami pengalaman magis atau merasakan semacam datangnya mukjizat tatkala orang itu menjalankan ritual puasa dengan cara tertentu. Ini semua adalah dimensi religiusitas yang secara teoretis tidak bisa ditangkap secara objektif.
Mari kita tengok jemaah haji Indonesia. Banyal dari mereka yang menangis tersedu-sedu ketika harus meninggalkan “rumah Allah”. Tetapi, tidak sedikit pula yang tersenyum dan tertawa-tawa karena sebentar lagi akan segera berkumpul dengan keluarga di tanah air.
Hal yang sama juga bisa terjadi pada para shoimin yang berpuasa tahun ini. Biarpun sedang berpuasa dan mengikuti berita tentang kelaparan dan penggusuran di mana-mana, namun kalau rasa laparnya tidak diberikan konteks penghayatan terhadap aspek sosial, maka lapar puasanya hanyalah mengikuti siklus hari dan taat akan aturan puasa yang dimulai sejak terbitnya fajar dan berbuka ketika matahari terbenam. Sedangkan kondisi kelaparan di sekitarnya tidak mampu memberikan makna apa-apa bagi puasanya. Dengan demikian, kita hanyalah terjebak dalam rutinitas ritus keagamaan tahunan, dan ironisnya, kondisi ini tetap mapan dan dilestarikan kalangan shoimin dari tahun ke tahun.
Oleh sebab itu, laku ritual haruslah dikonfrontasikan dengan konteks, nuansa, dan alur kesadaran untuk memperoleh maknanya sebagai pembacaan hermeneutika sosial dalam konstruk pergumulan aktual kehidupan manusia yang nyata. Dengan begitu, setiap ritual mempunyai kapasitas sebagai refleksi kemanusiaan untuk menghidupkan semangat fitrah puasa dan manusia sendiri, tidak saja dalam kesadaran subjektif, tetapi juga dalam kesadaran sejarah. Dari proses dehumanisasi itulah, puasa sebagai ritual mencari kesadaran baru yang humanis, sehingga menemukan makna-makna emansipatoris sebagai praksis pembebasan dan keadilan bagi setiap umat manusia.
Dengan menjadikan puasa sebagai laku ritual yang multi efek —tidak sekadar persembahan transendental dan pengharapan pahala belaka, melainkan sebuah wujud pemaknaakan terhadap rasa lapar secara substantif, serta menumbuhkan sikap kepedualian terhadap dehumanisasi dan refleksi kemanusiaan—, fitrah puasa akan memberikan makna baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama bagi keberagamaan kita. Dengan begitu, krisis multidimensional dan taubat nasional untuk tujuan pengentasan kemiskinan dan krisis kemanusiaan akan terujud di ruang bernama Indonesia.
Islam dengan puasanya harus tidak lagi dimaknai sebagai momentum penutupan tempat-tempat maksiat belaka. Lebih dari itu, puasa merupakan upaya “memfitrahkan” manusia dan bangsa Indonesia. Dengan begitu, Islam tidak akan dianggap “hantu” yang menakutkan saat Ramadhan tiba, melainkan sebagai rahmat bagi sekalian umat manusia.
Ach. Faidy Suja’ie, Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) FISIP-
Universitas Jember
Bagi bangsa Indonesia, puasa tahun ini —yang Insya Allah dijalankan mulai Ahad besok— adalah puasa ke-63 sejak negara Indonesia diproklamasikan. Bulan penuh maghfirah ini datang di saat ekonomi Indonesia masih sangat terpuruk, angka kemiskinan sangat tinggi, dan pengangguran belum tertangangi secara serius oleh pemerintah. Tidak hanya itu, kebijakan tentang Impor beras, kenaikan gaji bagi pejabat negara di saat rakyat Indonesia acapkali ditimpa musibah bencana alam, kerap terdengar di telinga kita. Belum lagi, perpecahan sosial dan politik yang masih terjadi di kalangan umat Islam sendiri. Sungguh ironis dan memalukan.
Ini kemudian menimbulkan tanda tanya besar tentang makna puasa: adakah ibadah puasa —yang sesungguhnya secara simbolis merupakan ungkapan pemihakan umat terhadap kaum mustadafiin yang dipenuhi rasa lapar dan penderitaan— masih memiliki efek keberagamaan menjadikan seorang shoim secara moralitas peka terhadap proses marjinalisasi sosial?
Sebagai sebuah tindakan ubudiyah transendental, puasa memang bukanlah tindakan sosial kolektif untuk menyelesaikan dan menuntaskan kondisi dehumanisasi serta keterasingan sosial. Tapi, ketika puasa sebagai satu ritus mampu menggugah kesadaran iman yang bersifat refleksionis dan menumbuhkan kepedulian terhadap proses dehumanisasi dimasyarakat, maka fitrah yang dianugerahkan kepada shoimien dan shoimaat dapat menjelma menjadi kepekaan sosial kolektif. Dengan demikian, hikmah puasa, barokah bulan Ramadhan akan mempunyai arti konkret serta nilai humanis bagi umat manusia; bukan sekadar pemenuhan hasrat ilahiyah belaka.
Sayangnya, interpretasi puasa yang muncul dalam ruang keberagamaan kita hanyalah sebagai laku tirakat demi semangat kepahalaan transendental belaka. Puasa tidak dimanfaatkan untuk mengungkap rahasia ibadah dalam persepektif sosial kemasyarakatan. Puasa hanyalah menyentuh pola hubungan personal dengan tuhan, puasa belum mempunyai efek sosial yang nyata dalam kehidupan masyarakat.
Secara antropologis, berpuasa sebenarnya adalah proses yang diharuskan bagi setiap orang yang beriman agar saat itu manusia keluar dari kesadaran hidup yang bersifat ordiner, konsumtif dan profan semata. Mereka yang melaksanakannya (baca: shoim) akan menemukan makna hidup sesungguhnya di luar aktivitas rutin manusiawi. Dengan demikian, manusia akan mampu menahan diri dari kahausan biologis maupun kerakusan sosial dan kekuasaan politik.
Kondisi objektif Indonesia tidaklah menggembirakan, bahkan mengenaskan. Silih bergantinya bencana alam yang melanda bumi pertiwi, rupanya tidak membuat pejabat kita terharu menyaksikan korban bencana alam. Yang terjadi justru sebaliknya, mereka ramai-ramai menaikkan gaji dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif belaka. Ini barangkali tak perlu terjadi seandainya ibadah puasa dimaknai sebagai ibadah pembuka ruang keberpihakan terhadap kaum mustadafien dan kepekaan sosial. Dengan kesadaran tersebut, setiap umat Islam (pejabat dan bukan pejabat) akan tergugah untuk memberikan makna horizontal puasa bagi sesama.
Di saat keadaan ekonomi yang memprihatinkan saat ini, rasanya tidak bermoral dan keterlaluan, kalau kita masih menyambut bulan suci kali ini dengan suasana semarak tanpa melakukan taffakur terhadap penderitaan yang dialami orang-orang yang papa. Ini patut kita tekankan, mengingat selama ini seolah-olah kesemarakan puasa itu tenggelam dalam budaya konsumeristik, dalam gaya hidup “pasar” daripada aktivitas di surau dan di masjid.
Harus diingat, ketika life style keberagamaan yang bergelimang dijadikan model kesalehan umat Islam, maka wajah keberagamaan kita akan tumpul terhadap proses dehumanisasi dan marjinalisasi sosial, dan di hadapan Tuhan, puasa kita akan menjadi tidak adil dan timpang.
Seperti halnya laku ritual yang lain, bentuk penghayatan dan pengalaman puasa sangatlah beragam dari satu orang ke orang yang lain. Sifatnya subjektif dipengaruhi masing-masing persepsi dan pengalaman individual keberagamaannya. Bahkan kadang-kadang, ada orang yang mengalami pengalaman magis atau merasakan semacam datangnya mukjizat tatkala orang itu menjalankan ritual puasa dengan cara tertentu. Ini semua adalah dimensi religiusitas yang secara teoretis tidak bisa ditangkap secara objektif.
Mari kita tengok jemaah haji Indonesia. Banyal dari mereka yang menangis tersedu-sedu ketika harus meninggalkan “rumah Allah”. Tetapi, tidak sedikit pula yang tersenyum dan tertawa-tawa karena sebentar lagi akan segera berkumpul dengan keluarga di tanah air.
Hal yang sama juga bisa terjadi pada para shoimin yang berpuasa tahun ini. Biarpun sedang berpuasa dan mengikuti berita tentang kelaparan dan penggusuran di mana-mana, namun kalau rasa laparnya tidak diberikan konteks penghayatan terhadap aspek sosial, maka lapar puasanya hanyalah mengikuti siklus hari dan taat akan aturan puasa yang dimulai sejak terbitnya fajar dan berbuka ketika matahari terbenam. Sedangkan kondisi kelaparan di sekitarnya tidak mampu memberikan makna apa-apa bagi puasanya. Dengan demikian, kita hanyalah terjebak dalam rutinitas ritus keagamaan tahunan, dan ironisnya, kondisi ini tetap mapan dan dilestarikan kalangan shoimin dari tahun ke tahun.
Oleh sebab itu, laku ritual haruslah dikonfrontasikan dengan konteks, nuansa, dan alur kesadaran untuk memperoleh maknanya sebagai pembacaan hermeneutika sosial dalam konstruk pergumulan aktual kehidupan manusia yang nyata. Dengan begitu, setiap ritual mempunyai kapasitas sebagai refleksi kemanusiaan untuk menghidupkan semangat fitrah puasa dan manusia sendiri, tidak saja dalam kesadaran subjektif, tetapi juga dalam kesadaran sejarah. Dari proses dehumanisasi itulah, puasa sebagai ritual mencari kesadaran baru yang humanis, sehingga menemukan makna-makna emansipatoris sebagai praksis pembebasan dan keadilan bagi setiap umat manusia.
Dengan menjadikan puasa sebagai laku ritual yang multi efek —tidak sekadar persembahan transendental dan pengharapan pahala belaka, melainkan sebuah wujud pemaknaakan terhadap rasa lapar secara substantif, serta menumbuhkan sikap kepedualian terhadap dehumanisasi dan refleksi kemanusiaan—, fitrah puasa akan memberikan makna baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama bagi keberagamaan kita. Dengan begitu, krisis multidimensional dan taubat nasional untuk tujuan pengentasan kemiskinan dan krisis kemanusiaan akan terujud di ruang bernama Indonesia.
Islam dengan puasanya harus tidak lagi dimaknai sebagai momentum penutupan tempat-tempat maksiat belaka. Lebih dari itu, puasa merupakan upaya “memfitrahkan” manusia dan bangsa Indonesia. Dengan begitu, Islam tidak akan dianggap “hantu” yang menakutkan saat Ramadhan tiba, melainkan sebagai rahmat bagi sekalian umat manusia.
Ach. Faidy Suja’ie, Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) FISIP-
Universitas Jember
Dipublikasikan DUTA MASYARAKAT, tanggal 23 September 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar